Berperang Melawan “Robot” di Media Sosia

ADVERTISING-INDONESIA-id – Pernyataan Jack Ma yang meralat bahwa robot akan menjadi pesaing utama manusia akhirnya diralat. Pernyataan ini tentu bukan sembarang pernyataan, apalagi jika yang berkata adalah Jack Ma sang raja e-commerce dari Tiongkok. Visi ini tentu saja perlu kita sikapi dengan bijaksana. Apalagi di era digital dimana semua menggunakan perangkat teknologi. Termasuk marketing communication yang menggunakan platform digital.
Cepat atau lambat, Kecerdasan Buatan (Artificial Intelectual) di bidang teknologi akan merambah ke semua platform teknologi. Hingga pada akhirnya, semua penemuan teknologi dihadapkan pada dua pilihan yaitu teknologi yang membangun dan mendukung kelangsungan manusia atau yang menghancurkan manusia?
Dalam konteks teknologi digital saat ini, anehnya, masih saja terjadi jual-beli follower di sosial media. Konon semakin banyak follower dipercaya bisa meningkatkan kepercayaan publik bahkan advertiser. Atau dengan kata lain, semakin banyak “likes” atau “loved” maka semakin mahal biaya yang harus dikeluarkan oleh advertiser.
Lalu apa yang membuatplatformdigital bisa menjadi rapuh (fragile) dihadapanadvertiser? Salah satu diantaranya adalah KPI berdasarkan jumlah audiens.
Advertiser tentu tidak akan puas jika KPI hanya ditunjukan berdasarkan berapa banyak jumlah viewers, likers atau follower di saluran (channel) brand. Terkadang KPI sebuah agency juga dinilai dari berapa banyak audiens yang berinteraksi? Berapa banyak sales yang dicapai? Berapa jumlah “leads” yang bisa didata? Tekanan-tekanan seperti ini yang membuat agency bergerak “at any cost” dan hanya mementingkan hasil akhir tanpa melihat proses tahapan komunikasi.
Lalu apa yang membuat platform digital bisa menjadi rapuh (fragile) dihadapan advertiser? Salah satu diantaranya adalah KPI berdasarkan jumlah angka audiens seperti viewers, likers dan followers tanpa melihat aspek komunikasi yang lebih besar. Permasalahan klasik lainnya yang terjadi adalah validitas data. Masalah ini hingga sekarang masih menjadi masalah yang belum terpecahkan. Baik oleh advertiser maupun agency sendiri. Tentu saja, semua pihak menginginkan audiens yang berinteraksi dengan brand adalah audiens yang natural dan bukan robot atau mesin.
Belajar dari Kasus Pilpres AS & Pilkada DKI
Mengutip kolom opini di kompas.id dan Kompas cetak (14/10) yang ditulis oleh Agus Sudibyo, Direktur Indonesia New Media Watch, yang berjudul “Pengakuan Bersalah Zuckerberg” dimana Agus mengkritisi tanggungjawab CEO Facebook, Mark Zuckerberg. Dalam kolom opini tersebut tersurat banyaknya “penumpang gelap” dalam sosial media yang dibangun Mark. Bahkan Amerika mengklaim ada sekitar 3000 pesan yang dianggap menambah kericuhan pilpres di AS. Akibat banyaknya berita Hoax yang tersebar di Facebook menyebabkan perpecahan masyarakat di Amerika Serikat, begitu juga di warga Jakarta  yang terbelah menjadi dua kubu pada Pilkada DKI beberapa waktu lalu.
Untuk itu Agus Sudibyo mengkritisi perlunya tanggungjawab secara sosial dan moral yang harus dilakukan oleh Facebook terhadap pemberitaan bohong atau hoax. Lalu bagaimana tanggungjawab sosial media melawan hoax yang disebarkan “penumpang gelap?” Contohnya ada di Jerman yang mendirikan “Unit Penanggulangan Hoax” dimana melayani pengaduan 24 jam sehari jika terdapat hoax di sosial media. Untuk setiap hoax yang tidak dihapus dalam 24 jam, maka pemerintah Jerman akan mengenakan denda sebesar 7 Miliar kepada perusahaan media sosial tersebut. Mampukah Indonesia melakukan hal seperti di Jerman? Mampukah Indonesia melawan “robot” yang setiap hari membuat akun palsu?
Untuk menjaga konsep komunikasi via digital tetap bekerja dengan baik adalah dengan kembali kepada kaidah komunikasi itu sendiri.
Belajar dari Facebook di AS, maka di Indonesia baiknya setiap pemangku kepentingan (stake holder) sosial media, termasuk advertiser maupun agency harus lebih berhati-hati. Baik itu dari sisi pesan, kreatifitas hingga penyebaran informasi brand atau produk di sosial media. Jangan sampai pesan yang dipublikasikan melalui saluran brand di sosial media disalahartikan, dimultitafsirkan dan menjadi berita negatif oleh para “penumpang gelap” atau akun palsu. Dan yang lebih berbahaya lagi adalah banyaknya mesin “robot” yang diciptakan manusia untuk “meramaikan” sebuah saluran (channel) brand dan seolah-olah berinteraksi dengan brand.
Persaingan manusia dengan mesin atau robot adalah hal yang tidak mungkin dihindari di masa depan. Untuk menjaga konsep komunikasi via digital tetap bekerja dengan baik adalah dengan kembali kepada kaidah komunikasi itu sendiri. Selain itu, menjaga etika dan tanggungjawab moral dari setiap hal yang dimuat di sosial media menjadi hal yang selalu dilibatkan. Semakin kuat tahapan komunikasi itu dijaga, maka semakin besar kita bisa mengontrol teknologi yang bermanfaat bagi brand. Jadi, ancaman robot itu pesaing manusia bisa berakhir dengan supremasi manusia terhadap robot ataupun mesin.
Hal ini mengingatkan kita pada era 90-an dimana saat itu Garry Kasparov, sang Grand Master Catur Dunia asal Rusia, akhirnya menantang mesin “Deep Blue” buatan IBM sebagai sebagai lawan caturnya. Hebatnya, Garry Kasparov berkali-kali menang main catur melawan mesin tersebut padahal mesin tersebut telah dirancang sedemikian rupa untuk bermain catur mengalahkan Kasparov. Hal itu terjadi dikarenakan sudah tidak ada lagi manusia di bumi ini yang bisa mengalahkan Gary Kasparov dalam bermain catur. Pertanyaannya adalah apakah kita semua sudah sekelas Garry Kasparov yang bisa mengalahkan mesin?
 http://advertising-indonesia.id/2017/10/15/berperang-melawan-robot-di-media-sosial/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengaruh Budaya dan Sub-Budaya terhadap Perilaku Konsumen

Uji Validitas Kuesioner dengan Microsoft Excel

STRUKTUR PERUSAHAAN PERIKLANAN